1 Pengertian Pangan
Bedasarkan
UU 18 tahun 2012 tentang pangan pengertian dari Pangan adalah segala sesuatu
yang berasal dari sumber hayati produk pertanian, perkebunan, kehutanan,
perikanan, peternakan, perairan, dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah
yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk
bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan lainnya yang digunakan
dalam proses penyiapan, pengolahan, dan/atau pembuatan makanan atau minuman.
2 Pengertian Ketahanan Pangan
Sebelum
mengetahui tentang ketahanan pangan kita perlu mengetahui tentang pengertian
kedaulatan pangan dan kemandirian pangan itu sendiri. Menurut UU 18 tahun 2012
tentang pangan, pengertian dari kedaulatan pangan adalah hak Negara dan bangsa
yang secara mandiri menentukan kebijakan pangan yang menjamin hak atas pangan
bagi rakyat dan memberikan hak bagi masyarakat untuk menentukan sistem pangan
yang sesuai dengan potensi sumber daya lokal. Sedangkan kemandirian pangan
adalah kemampuan Negara dan bangsa dalam memproduksi pangan yang beraneka ragam
dari dalam negeri yang dapat menjamin pemenuhan kebutuhan pangan yang cukup
sampai ditingkatkan perseorangan dengan memanfaatkan potensi sumber daya alam,
manusia, sosial, ekonomi, dan kearifan lokal secara bermartabat.
Definisi
ketahanan pangan secara umum sangat luas. Menurut UU 18 tahun 2012 tentang
pangan, pengertian dari ketahanan pangan yaitu kondisi terpenuhinya pangan bagi
Negara sampai perseorangan, yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup,
baik jumlah maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata dan terjangkau serta
tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat, untuk dapat
hidup sehat, aktif, dan produktif secara berkelanjutan. Menurut Husain (2004),
sistem ketahanan pangan di Indonesia secara komprehensif meliputi empat
sub-sistem, yaitu: (i) ketersediaan pangan dalam jumlah dan jenis yang cukup
untuk seluruh penduduk, (ii) distribusi pangan yang lancar dan merata, (iii)
konsumsi pangan setiap individu yang memenuhi kecukupan gizi seimbang, yang
berdampak pada (iv) status gizi masyarakat. Dengan demikian, sistem ketahanan
pangan dan gizi tidak hanya menyangkut soal produksi, distribusi, dan
penyediaan pangan ditingkat makro (nasional dan regional), tetapi juga
menyangkut aspek mikro, yaitu akses pangan di tingkat rumah tangga dan individu
serta status gizi anggota rumah tangga
3 Pengertian Diversifikasi Pangan
Penganekaragaman
pangan (diversifikasi pangan) merupakan jalan keluar yang saat ini dianggap
paling baik untuk memecahkan masalah dalam pemenuhan kebutuhan pangan. Melalui
penataan pola makan yang tidak hanya bergantung pada satu sumber pangan
memungkinkan masyarakat dapat menetapkan pangan pilihan sendiri, sehingga dapat
membangkitkan ketahanan pangan keluarga masing-masing yang berujung pada
peningkatan ketahanan pangan secara nasional (Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian, 2005).
Konsep
penganekaragaman pangan yang dianggap benar adalah upaya untuk meningkatkan mutu
gizi makanan keluarga sehari-hari dengan cara menggunakan bahan-bahan makanan
yang beragam dan terdapat di daerah yang bersangkutan, sehingga ketergantungan
kepada salah satu bahan pangan terutama beras dapat dihindari. Manfaat diversifikasi
pada sisi konsumsi adalah semakin beragamnya asupan zat gizi, baik makro maupun
mikro, untuk menunjang pertumbuhan, daya tahan, dan produktivitas fisik
masyarakat (Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 1991).
4 Pola Konsumsi
Pola konsumsi pangan dapat dipengaruhi oleh kondisi
ekonomi, sosial, dan budaya masyarakat. Konsumsi pangan berkaitan dengan
masalah gizi dan kesehatan, ukuran kemiskinan, serta prencanaan dan produksi
pada setiap daerah. Konsumsi masyarakat terhadap pangan dapat dilihat dari
kecenderungan masyarakat mengkonsumsi jenis pangan tertentu. Apabila pola
konsumsi pangan masyarakat beragam, maka gizi yang didapatkan juga akan beragam
pula sehingga kecukupan gizi pada masing-masing individu dapat terpenuhi sesuai
dengan kecukupan gizi yang telah dianjurkan.
Beras
masih merupakan pangan pokok bagi masyarakat yang hingga saat ini masih belum
tergantikan posisinya sebagai sumber energi, meskipun sumber lainnya cukup
banyak. Salah satu penyebabnya karena beras merupakan bagian dari struktur
sosial budaya yang cukup berarti bagi masyarakat. Selain beras, komoditas yang berperan sebagai pangan
pokok adalah umbi-umbian, jagung, sagu dan pisang. Pola pangan pokok yang
beragam ini sebetulnya sudah terjadi sejak dahulu, seperti sagu banyak
dikonsumsi oleh masyarakat di Papua dan Maluku, serta jagung dikonsumsi oleh
masyarakat di NTT. Namun akibat terlalu dominan dan intensifnya kebijakan
pemerintah di bidang perberasan secara berkelanjutan, mulai dari industri hulu
sampai industri hilir mengakibatkan pergeseran pangan pokok dari pangan lokal
seperti jagung dan umbi-umbian ke pangan pokok nasional yaitu beras.
Hasil
analisis dengan menggunakan data Susenas 1979 (Pusat Penelitian Agro Ekonomi,
1989) dan 1996 (Rachman, 2001) di wilayah Kawasan Timur Indonesia (KTI)
menunjukkan bahwa : 1) semua propinsi di Indonesia pada tahun 1979 mempunyai
pola pangan pokok utama beras. Pada tahun 1996, posisi tersebut masih tetap,
kalaupun berubah hanya terjadi pada pangan kedua yaitu antara jagung dan
umbi-umbian; 2) pola tunggal beras pada tahun 1979 hanya terjadi di satu
propinsi yaitu Kalsel, maka pada tahun 1996 terjadi di 8 propinsi yaitu Kalsel,
Kalbar, Kalteng, Kaltim, NTB, Sulsel, Sulut dan Sulteng (Ariani, 2004). Ini
berarti telah terjadi pening-katan preferensi dan jumlah konsumsi beras yang
signifikan di propinsi tersebut, sehingga mampu menggeser peran jagung dan
umbi- umbian
sebagai pangan pokok.
5 Pergeseran pola
konsumsi
Pergeseran
pola konsumsi masyarakat saat ini lebih mengidolakan makanan Junk Food/Makanan siap
saji. Junk food atau makanan rendah gizi adalah makanan yang tidak sehat atau memiliki sedikit
kandungan nutrisi. Makanan cepat saji seperti hamburger, kentang goring dari
McDonald’s, KFC dan Pizza Hut sering dianggap sebagai makanan nirnutrisi. Makanan
nirnutrisi mengandung jumlah lemak yang besar.
Keracunan makanan adalah
gejala yang disebabkan karena mengkonsumsi makanan yang mengandung
bahan berbahaya/toksik atau yang terkontaminasi. Kontaminasi bias disebabkan
oleh bakteri, virus, parasit, jamur dan toksin.
6
AKG
(Angka Kecukupan Gizi)
AKG
adalah nilai yang menunjukkan jumlah zat gizi yang diperlukan untuk hidup sehat
setiap hari bagi hampir semua masyarakat menurut kelompok umur, jenis kelamin,
dan kondisi fisiologis (PIP Tim Penyusun, 2009). AKG dianjurkan untuk menilai kecukupan gizi yang telah
dicapai melalui konsumsi, makanan bagi penduduk/golongan masyarakat yang
didapatkan dari hasil survei gizi/makanan, untuk merencanakan penyediaan pangan
tingkat regional maupun nasional, dan lain-lain
Angka
kecukupan gizi (AKG) berguna sebagai patokan dalam penilaian dan perencanaan
konsumsi pangan, serta basis dalam perumusan acuan label gizi. Angka kecukupan
gizi mengalami perkembangan sesuai dengan perkembangan Iptek gizi dan ukuran
antropometri penduduk. Setelah sekitar sepuluh tahun ditetapkan angka kecukupan
energi (AKE) dan kecukupan protein (AKP) bagi penduduk Indonesia, kini saatnya
ditinjau ulang dan disempurnakan. Kajian ini bertujuan merumuskan angka
kecukupan energi (AKE), kecukupan protein (AKP), kecukupan lemak (AKL),
kecukupan karbohidrat (AKK) dan serat makanan (AKS) penduduk Indonesia (PIP Tim
Penyusun, 2009).
7 Kebijakan-Kebijakan Pemerintah dalam Ketahanan
Pangan
Strategi
peningkatan ketahanan pangan yaitu Sejalan dengan otonomi daerah yang diatur
dalam UU No.22 tahun 1999 dan PP No. 25 tahun 2000, maka pelaksanaan manajemen
pembangunan ketahanan pangan di pusat dan daerah diletakkan sesuai dengan peta
kewenangan pemerintah. Dalam PP No. 68 tahun 2002 tentang ketahanan pangan
dalam Bab VI pasal 13 ayat 1 tertulis dengan jelas bahwa “Pemerintah Provinsi,
Pemerintah Kabupaten/Kota, dan atau Pemerintah Desa melaksanakan kebijakan dan
bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan ketahanan pangan di wilayahnya
masing-masing dengan memperhatikan pedoman, norma, standar dan kriteria yang
ditetapkan oleh Pemerintah Pusat”. Untuk menguatkan peran dan tanggung jawab
pemerintah daerah, terdapat kesepakatan bersama Gubernur/ketua DKP (Dinas
Ketahanan Pangan) Provinsi yang mengharuskan mereka untuk mengembangkan
berbagai program dan kegiatan ketahanan pangan yang komprehensif serta
berkesinambungan dalam rangka memantapkan ketahanan pangan nasional. Program
dan kegiatan tersebut menjadi prioritas program pembangunan daerah.
Latar
belakang lemahnya ketahanan pangan di Indonesia dikarenakan Faktor konsumsi dan
produksi yang tidak seimbang akibat pengalihan fungsi lahan, meningkatnya
jumlah penduduk, teknologi pengolahan yang kurang optimal, bergesernya pola
pikir dan gaya hidup masyarakat serta kurangnya respon masyarakat terhadap
kebijakan pemerintah yang mendukung ketahanan pangan.
Salah
satu upaya pemerintah yaitu dengan adanya kebijakan diversifikasi pangan local
sehingga dapat mengurangi pola konsumsi beras pada masyarakat. Tiga aspek
penting yang harus digarap untuk memacu diversifikasi pangan secara efektif,
yaitu:
(1) daya tarik ekonomi dan citra pangan yang
ditawarkan;
(2) kemampuan ekonomi masyarakat; dan
(3) kesadaran masyarakat terhadap pangan bergizi
dan kesehatan.
DAFTAR PUSTAKA
Ariani, M. 2004. Dinamika Konsumsi Beras
Rumahtangga dan Kaitannya dengan Diversifikasi Konsumsi Pangan. Dalam Ekonomi
Padi dan Beras Indonesia. Badan Litbang Pertanian. Departemen Pertanian
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. 1991. Konsep
penganekaragaman pangan. Departemen Kesehatan.
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 2005. Prospek
dan Arah Pengem-bangan Agribisnis Padi. Departemen Pertanian.
Husain. 2004. Konsep dasar potensi pengembangan pangan
spesifik lokal di Provinsi Papua. hlm. 33−42. Dalam. Y.P.
Karafir, H. Manutubun, Soenarto, Y. Abdullah, B. Nugroho, dan M.J. Tokede
(Ed.). Prosiding Lokakarya Nasional Pendayagunaan Pangan Spesifik Lokal Papua.
PIP Tim Penyusun. 2009. Kumpulan
Makalah Pengantar ke Ilmu-ilmu Pertanian. Bogor: IPB Press.
Pusat Penelitian Agro Ekonomi. 1989. Pola Konsumsi
Pangan, Proporsi dan Ciri Rumah Tangga Dengan Konsumsi Energi Dibawah Standar
Kebutuhan. Kerjasama Direktorat Bina Gizi Masya-rakat, Depkes dengan PAE.
Bogor: Departemen Pertanian
Rachman, H.P.S. 2001. Kajian Pola Konsumsi dan
Permintaan Pangan di Kawasan Timur Indonesia. Disertasi. Program
Pascasarjana, IPB. Bogor: IPB
Tidak ada komentar:
Posting Komentar