THP C Presents: Assalamualaikum wr. wb. . . Selamat Datang Di Website Go Pangan Lokal, Semoga Artikel Kami Bermanfaat Bagi Anda Semua.

Selasa, 04 Maret 2014

PENGERTIAN UMUM PANGAN LOKAL DAN ASPEK LAIN YANG MENDUKUNG

1 Pengertian Pangan
            Bedasarkan UU 18 tahun 2012 tentang pangan pengertian dari Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati produk pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan, peternakan, perairan, dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan lainnya yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan/atau pembuatan makanan atau minuman.

2 Pengertian Ketahanan Pangan
            Sebelum mengetahui tentang ketahanan pangan kita perlu mengetahui tentang pengertian kedaulatan pangan dan kemandirian pangan itu sendiri. Menurut UU 18 tahun 2012 tentang pangan, pengertian dari kedaulatan pangan adalah hak Negara dan bangsa yang secara mandiri menentukan kebijakan pangan yang menjamin hak atas pangan bagi rakyat dan memberikan hak bagi masyarakat untuk menentukan sistem pangan yang sesuai dengan potensi sumber daya lokal. Sedangkan kemandirian pangan adalah kemampuan Negara dan bangsa dalam memproduksi pangan yang beraneka ragam dari dalam negeri yang dapat menjamin pemenuhan kebutuhan pangan yang cukup sampai ditingkatkan perseorangan dengan memanfaatkan potensi sumber daya alam, manusia, sosial, ekonomi, dan kearifan lokal secara bermartabat.
Definisi ketahanan pangan secara umum sangat luas. Menurut UU 18 tahun 2012 tentang pangan, pengertian dari ketahanan pangan yaitu kondisi terpenuhinya pangan bagi Negara sampai perseorangan, yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata dan terjangkau serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat, untuk dapat hidup sehat, aktif, dan produktif secara berkelanjutan. Menurut Husain (2004), sistem ketahanan pangan di Indonesia secara komprehensif meliputi empat sub-sistem, yaitu: (i) ketersediaan pangan dalam jumlah dan jenis yang cukup untuk seluruh penduduk, (ii) distribusi pangan yang lancar dan merata, (iii) konsumsi pangan setiap individu yang memenuhi kecukupan gizi seimbang, yang berdampak pada (iv) status gizi masyarakat. Dengan demikian, sistem ketahanan pangan dan gizi tidak hanya menyangkut soal produksi, distribusi, dan penyediaan pangan ditingkat makro (nasional dan regional), tetapi juga menyangkut aspek mikro, yaitu akses pangan di tingkat rumah tangga dan individu serta status gizi anggota rumah tangga

3 Pengertian Diversifikasi Pangan
            Penganekaragaman pangan (diversifikasi pangan) merupakan jalan keluar yang saat ini dianggap paling baik untuk memecahkan masalah dalam pemenuhan kebutuhan pangan. Melalui penataan pola makan yang tidak hanya bergantung pada satu sumber pangan memungkinkan masyarakat dapat menetapkan pangan pilihan sendiri, sehingga dapat membangkitkan ketahanan pangan keluarga masing-masing yang berujung pada peningkatan ketahanan pangan secara nasional (Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, 2005).
Konsep penganekaragaman pangan yang dianggap benar adalah upaya untuk meningkatkan mutu gizi makanan keluarga sehari-hari dengan cara menggunakan bahan-bahan makanan yang beragam dan terdapat di daerah yang bersangkutan, sehingga ketergantungan kepada salah satu bahan pangan terutama beras dapat dihindari. Manfaat diversifikasi pada sisi konsumsi adalah semakin beragamnya asupan zat gizi, baik makro maupun mikro, untuk menunjang pertumbuhan, daya tahan, dan produktivitas fisik masyarakat (Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 1991).

4 Pola Konsumsi
Pola konsumsi pangan dapat dipengaruhi oleh kondisi ekonomi, sosial, dan budaya masyarakat. Konsumsi pangan berkaitan dengan masalah gizi dan kesehatan, ukuran kemiskinan, serta prencanaan dan produksi pada setiap daerah. Konsumsi masyarakat terhadap pangan dapat dilihat dari kecenderungan masyarakat mengkonsumsi jenis pangan tertentu. Apabila pola konsumsi pangan masyarakat beragam, maka gizi yang didapatkan juga akan beragam pula sehingga kecukupan gizi pada masing-masing individu dapat terpenuhi sesuai dengan kecukupan gizi yang telah dianjurkan.
Beras masih merupakan pangan pokok bagi masyarakat yang hingga saat ini masih belum tergantikan posisinya sebagai sumber energi, meskipun sumber lainnya cukup banyak. Salah satu penyebabnya karena beras merupakan bagian dari struktur sosial budaya yang cukup berarti bagi masyarakat. Selain beras, komoditas yang berperan sebagai pangan pokok adalah umbi-umbian, jagung, sagu dan pisang. Pola pangan pokok yang beragam ini sebetulnya sudah terjadi sejak dahulu, seperti sagu banyak dikonsumsi oleh masyarakat di Papua dan Maluku, serta jagung dikonsumsi oleh masyarakat di NTT. Namun akibat terlalu dominan dan intensifnya kebijakan pemerintah di bidang perberasan secara berkelanjutan, mulai dari industri hulu sampai industri hilir mengakibatkan pergeseran pangan pokok dari pangan lokal seperti jagung dan umbi-umbian ke pangan pokok nasional yaitu beras.
Hasil analisis dengan menggunakan data Susenas 1979 (Pusat Penelitian Agro Ekonomi, 1989) dan 1996 (Rachman, 2001) di wilayah Kawasan Timur Indonesia (KTI) menunjukkan bahwa : 1) semua propinsi di Indonesia pada tahun 1979 mempunyai pola pangan pokok utama beras. Pada tahun 1996, posisi tersebut masih tetap, kalaupun berubah hanya terjadi pada pangan kedua yaitu antara jagung dan umbi-umbian; 2) pola tunggal beras pada tahun 1979 hanya terjadi di satu propinsi yaitu Kalsel, maka pada tahun 1996 terjadi di 8 propinsi yaitu Kalsel, Kalbar, Kalteng, Kaltim, NTB, Sulsel, Sulut dan Sulteng (Ariani, 2004). Ini berarti telah terjadi pening-katan preferensi dan jumlah konsumsi beras yang signifikan di propinsi tersebut, sehingga mampu menggeser peran jagung dan umbi- umbian sebagai pangan pokok.

5 Pergeseran pola konsumsi
Pergeseran pola konsumsi masyarakat saat ini lebih mengidolakan makanan Junk Food/Makanan siap saji. Junk food atau makanan rendah gizi adalah makanan yang tidak sehat atau memiliki sedikit kandungan nutrisi. Makanan cepat saji seperti hamburger, kentang goring dari McDonald’s, KFC dan Pizza Hut sering dianggap sebagai makanan nirnutrisi. Makanan nirnutrisi mengandung jumlah lemak yang besar.
Keracunan makanan adalah gejala yang disebabkan karena mengkonsumsi makanan yang mengandung bahan berbahaya/toksik atau yang terkontaminasi. Kontaminasi bias disebabkan oleh bakteri, virus, parasit, jamur dan toksin.

6  AKG (Angka Kecukupan Gizi)
AKG adalah nilai yang menunjukkan jumlah zat gizi yang diperlukan untuk hidup sehat setiap hari bagi hampir semua masyarakat menurut kelompok umur, jenis kelamin, dan kondisi fisiologis (PIP Tim Penyusun, 2009). AKG dianjurkan untuk menilai kecukupan gizi yang telah dicapai melalui konsumsi, makanan bagi penduduk/golongan masyarakat yang didapatkan dari hasil survei gizi/makanan, untuk merencanakan penyediaan pangan tingkat regional maupun nasional, dan lain-lain
Angka kecukupan gizi (AKG) berguna sebagai patokan dalam penilaian dan perencanaan konsumsi pangan, serta basis dalam perumusan acuan label gizi. Angka kecukupan gizi mengalami perkembangan sesuai dengan perkembangan Iptek gizi dan ukuran antropometri penduduk. Setelah sekitar sepuluh tahun ditetapkan angka kecukupan energi (AKE) dan kecukupan protein (AKP) bagi penduduk Indonesia, kini saatnya ditinjau ulang dan disempurnakan. Kajian ini bertujuan merumuskan angka kecukupan energi (AKE), kecukupan protein (AKP), kecukupan lemak (AKL), kecukupan karbohidrat (AKK) dan serat makanan (AKS) penduduk Indonesia (PIP Tim Penyusun, 2009).

7 Kebijakan-Kebijakan Pemerintah dalam Ketahanan Pangan
Strategi peningkatan ketahanan pangan yaitu Sejalan dengan otonomi daerah yang diatur dalam UU No.22 tahun 1999 dan PP No. 25 tahun 2000, maka pelaksanaan manajemen pembangunan ketahanan pangan di pusat dan daerah diletakkan sesuai dengan peta kewenangan pemerintah. Dalam PP No. 68 tahun 2002 tentang ketahanan pangan dalam Bab VI pasal 13 ayat 1 tertulis dengan jelas bahwa “Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota, dan atau Pemerintah Desa melaksanakan kebijakan dan bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan ketahanan pangan di wilayahnya masing-masing dengan memperhatikan pedoman, norma, standar dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat”. Untuk menguatkan peran dan tanggung jawab pemerintah daerah, terdapat kesepakatan bersama Gubernur/ketua DKP (Dinas Ketahanan Pangan) Provinsi yang mengharuskan mereka untuk mengembangkan berbagai program dan kegiatan ketahanan pangan yang komprehensif serta berkesinambungan dalam rangka memantapkan ketahanan pangan nasional. Program dan kegiatan tersebut menjadi prioritas program pembangunan daerah.
Latar belakang lemahnya ketahanan pangan di Indonesia dikarenakan Faktor konsumsi dan produksi yang tidak seimbang akibat pengalihan fungsi lahan, meningkatnya jumlah penduduk, teknologi pengolahan yang kurang optimal, bergesernya pola pikir dan gaya hidup masyarakat serta kurangnya respon masyarakat terhadap kebijakan pemerintah yang mendukung ketahanan pangan.
Salah satu upaya pemerintah yaitu dengan adanya kebijakan diversifikasi pangan local sehingga dapat mengurangi pola konsumsi beras pada masyarakat. Tiga aspek penting yang harus digarap untuk memacu diversifikasi pangan secara efektif, yaitu:
(1)   daya tarik ekonomi dan citra pangan yang ditawarkan;
(2)   kemampuan ekonomi masyarakat; dan
(3)   kesadaran masyarakat terhadap pangan bergizi dan kesehatan. 


DAFTAR PUSTAKA

Ariani, M. 2004. Dinamika Konsumsi Beras Rumahtangga dan Kaitannya dengan Diversifikasi Konsumsi Pangan. Dalam Ekonomi Padi dan Beras Indonesia. Badan Litbang Pertanian. Departemen Pertanian

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. 1991. Konsep penganekaragaman pangan. Departemen Kesehatan.

Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 2005. Prospek dan Arah Pengem-bangan Agribisnis Padi. Departemen Pertanian.

Husain. 2004. Konsep dasar potensi pengembangan pangan spesifik lokal di Provinsi Papua. hlm. 33−42. Dalam. Y.P. Karafir, H. Manutubun, Soenarto, Y. Abdullah, B. Nugroho, dan M.J. Tokede (Ed.). Prosiding Lokakarya Nasional Pendayagunaan Pangan Spesifik Lokal Papua.

PIP Tim Penyusun. 2009. Kumpulan Makalah Pengantar ke Ilmu-ilmu Pertanian. Bogor: IPB Press.

Pusat Penelitian Agro Ekonomi. 1989. Pola Konsumsi Pangan, Proporsi dan Ciri Rumah Tangga Dengan Konsumsi Energi Dibawah Standar Kebutuhan. Kerjasama Direktorat Bina Gizi Masya-rakat, Depkes dengan PAE. Bogor: Departemen Pertanian
Rachman, H.P.S. 2001. Kajian Pola Konsumsi dan Permintaan Pangan di Kawasan Timur Indonesia. Disertasi. Program Pascasarjana, IPB. Bogor: IPB









Tidak ada komentar:

Posting Komentar